Sunday, October 16, 2016

Dimana Peran Pendidik?

Suatu hari di usia muda di masa - masa SMP, saya sekarang menyadari bahwa hidup memang menyenangkan, terutama hidup saya sendiri. Bagun, mandi, sekolah, pulang, main game, tidur siang, nonton bola di TV. Dan menjelang malam membuka buku matematika yang sama untuk menyelesaikan soal - soal tanpa membuka buku lain sebagai referensi. Bukannya tidak mau, hanya tidak tahu. Setelah itu pergi tidur, tanpa memperhatikan pelajaran lain, lalu bangun dan kemudian kejadian serupa terulang lagi sampai ujian sekolah berlangsung.

Di sela - sela itu, entah kenapa saya diikutkan oleh guru saya yang baik hati, beliau bernama Pak Agus. Seorang guru yang terlampau baik dan satu - satunya guru yang menginspirasi tentang nilai - nilai dan kelebihan pada manusia yang penuh kekurangan.

"Kenapa saya berani berkata sedemikian rupa?"

Tidak lain  dan hanya satu sebab, saya hanya tahu pelajaran matematika. Matematika itu terlihat sangat - sangat mudah. Saya menyadari saya tidak harus membaca berlembar - lembar buku dan mengisi soal. Saya hanya harus tahu rumus, permasalahan dan mencari jawaban yang benar. Tapi saya sebenarnya tidak benar - benar bisa dengan pelajaran matematika. 

Penyebabnya adalah karena saya selalu bertanya, bahkan pelajaran yang seharusnya belum dipelajari pun saya tanyakan pada beliau. Saya berpikir saya bisa mengatasi semuanya dengan bertanya, mengesampingkan buku dan sebagainya. Tapi semua berubah saat beliau mengadakan lomba untuk penyisihan olimpiade matematika tingkat kabupaten pada waktu itu.

Secara kebetulan di saat penyisihan, saya tahu semua hal yang ada di soal, kelihatannya terlalu mudah, meskipun ada beberapa hal yang saya tidak mengerti, maka yang hanya perlu saya lakukan hanya mencontreng salah satu dari pilihan ganda tersebut. Dan akhirnya, di akhir cerita saya jadi urutan nomor satu mungkin, atau nomor dua terbaik dari sekitar 27 siswa yang diikutkan oleh beliau.

Panggilan dari speaker menyuruh para peserta lomba untuk berkumpul di ruang perpustakaan. Kita di kumpulkan untuk persiapan. Tetapi ditinggal tanpa ada pembimbing. Jadi dimana logikanya belajar tanpa guru? mungkin mereka sibuk, tapi kami hampir tanpa persiapan matang untuk lomba.

Bisa ditebak, selanjutnya saya tidak tahu bagaimana seharusnya belajar dengan benar, dan tidak ada pelajaran yang berhubungan dengan matematika. Ketidaktahuan saya di tambah kemalasan dan ketidakseriusan saya mencari materi berbuntut panjang. 50 soal dan saya akhirnya membagi 2 soal tersebut menjadi 2, 25 untuk saya sendiri dan 25 lagi untuk partner olimpiade fase pertama saya septi. Dari 25 soal tersebut, hanya ada 2 yang saya mengerti dan lainya sudah berada diluar kapasitas saya. Berakhir juga perjalanan olimpiade saya.

Beberapa bulan kemudian, ada penyisihan di bidang MIPA (Matematika dan IPA), Sebenarnya saya tidak belajar sama sekali saat penyisihan tersebut karena saya pun tidak tahu harus belajar dari mana. Ini dilema orang malas. Tapi hal yang tidak terduga terjadi, Soal matematikanya sangat mudah dan bisa saya taklukkan tanpa harus melamun dan berpikir panjang. Lain halnya dengan soal IPA, banyak soal biologi dengan bahasa latin yang tidak saya mengerti, tapi saya merasa pernah membacanya sebelumnya. Jadi saya mengunakan intuisi untuk menjawab tanpa berfikir panjang, hanya kehati - hatian terhadap intuisi saya sebelum mencontreng soal pilihan ganda tersebut. 

Untuk fisika saya benar - benar lupa tentang soal yang saya kerjakan. Tetapi saya tahu di bab listrik saya tidak tahu apa - apa sama sekali. Lain halnya di bidang kimia, soalnya sangat mudah karena yang saya tahu hanya ada satu hitung - hitungan dalam soal kimia dan saya menguasai betul hal itu. Dan keberuntungan memihak saya, atau mungkin Tuhan hanya ingin menunjukkan bahwa orang bodoh pun bisa lolos babak penyisihan di sekolah yang di isi oleh orang - orang pintar. Peringkat kedua saya dapatkan. Saya hanya tidak percaya bahwa kenapa orang yang tidak pernah membaca dan bingung dengan berbagai pelajaran yang ada bisa lolos, mengalahkan jawara - jawara kelas. Sungguh sangat tidak masuk akal.

Seminggu untuk persiapan lomba, dan saya memulai dengan pelajaran yang tidak pernah saya baca sebelumnya, Kimia. Tiga buku dari kelas 7 sampai kelas 9 pun saya baca. Berandai - andai, saya memikirkan bahwa saya akan menyelesaikan tiga buku ini sekali baca dalam waktu 3 hari dan kemudian mengulang pelajaran pada bidang fisika dan biologi. Tapi entah kenapa akhirnya saya habiskan 6 hari untuk menyelesaikannya dengan perasaan frustasi, karena tidak tahu sama sekali dengan apa yang saya baca, hanya teori tentang hal - hal yang menurut otak saya terlampau amis untuk diingat. dan hari terakhir saya hanya membaca beberapa hal yang saya tahu, sebagai pil pemanis, pengobat rindu bagi pelajaran yang belum saya baca gara - gara Kimia. Frustasi pun melanda.

Waktu lomba berlangsung, saya akhirnya bisa lolos dari tahap pertama dengan mudah. Tapi saya merasa aneh, kenapa sebagian soalnya sepertinya mudah? Dan memang akhirnya 30% soal tidak bisa saya jawab. Dan saat fase kedua, pada saat upacara penyambutan dimulai, saya baru sadar bahwa saya ini tidak ada apa - apanya. Sebagian besar yang lolos ternyata adalah anak kelas 7 dan 8, tetapi saya adalah anak kelas 9. Sungguh memalukan bila tahu harus berkompetisi dengan adik kelas yang lebih pintar. 

Lomba pun dimulai dan materi - materi sulit mulai keluar dari sarangnya. Dibalik materi sulit yang sulit itu, saya melihat ada soal kimia yang berada diluar jangkauan saya. Materi yang ada tidak ada di dalam buku dan membuat pikiran kosong seketika dan tidak ada jalan keluar. Hari kedua, semua berakhir seperti lomba pertama saya. Berakhir tragis sekali dan akhirnya kalah.

Yang paling saya ingat dari ini adalah, seminggu sebelumnya saya berjanji pada diri saya sendiri bahwa jika saya bisa menang di lomba terakhir di masa SMP saya ini, saya akan masuk ke SMA dan belajar sekuat tenaga. Tapi semangat saja tidak cukup. Ketidaksiapan saya menjadi penghambat kerja keras dan motivasi besar saya. Rasa kantuk, frustasi dan perasaan bingung saat belajar tidak bisa dihilangkan begitu saja. Hukum sebab akibat pun berlaku, karena saya dulu terlalu enak - enakan dan tidak pernah belajar, maka saya mendapatkan ketidaktahuan dan kekalahan yang pahit. Hal yang sangat sulit diobati. Hal ini juga terulang di waktu SMK, bukan hanya lomba, saya pesimis dengan kemampuan saya sendiri karena bingung harus belajar dimana.

Di sisi lain, sekarang saya tahu bahwa saya merasa kesepian. Tidak ada orang yang berani menegur dan memberitahu saya harus berbuat apa. Mungkin karena saya terlahir di keluarga buruh yang biasa - biasa saja. Sepertinya orang tahu hanya membiarkan anaknya mengalir seperti air. Dan akhirnya, air itu jatuh di kubangan busuk dengan bangkai bangkai yang airnya tidak mengalir. Tidak menjadi super jahat seperti air selokan yang tidak dipedulian semua orang, bersama sampah. Tidak pula di jernihkan seperti air sungai untuk diminum dan digunakan untuk kepentingan lainnya.

Kehilangan jati diri, kehilangan motivasi, tidak tahu harus berbuat apa. Dan terjebak dalam kubangan yang bahkan tidak pernah kering karena terik matahari. Terjebak oleh malas, penundaan, game, dan pornografi. bagaimana hidup bisa seadil ini? Saya hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap karena saya tidak pernah diajari hal itu. Yang saya dengar hanyalah suara menyuruh, dan memarahi. Mereka ingin saya berhasil, mereka cinta kepada saya. Tetapi mereka tidak ingin berkorban waktu dan uang untuk pelajaran tambahan atau les. 

 Kelihatannya saya lambat dalam hal mendewasakan diri, karena harus belajar sendiri. Manusia itu berbeda dan kita tidak bisa diperlakukan sama hanya karena orang yang mendidik kita melihat dirinya berhasil di waktu dulu meskipun di acuhkan orang tuanya. Saya hanya merasa autis, karena masa kecil yang saya habiskan dengan menonton TV dan tidak pernah di didik menghadapi kekalahan. Dituntut untuk mendapat nilai terbaik, tapi di acuhkan dalam pendidikan mental. 

Mungkin menurut mereka "para orang tua", memberi makan, menyekolahkan dan merawat ketika sakit sudah merupakan bentuk kasih sayang. Tapi menurut saya, hal itu hanya sebuah stereotype karena semua orang melakukannya. Karena jika tidak, Tuhanlah yang akan menghukum kita.


Saya berpikir mungkin ini juga merupakan salah guru sebagai pendidik, yang menganggap muridnya sudah bisa. Padahal seharusnya harus di arahkan secara seksama. Bukan percaya secara buta kepada muridnya. Latihan keras dengan bimbingan dan tidak ragu meluangkan waktu untuk berbagi ilmu.

"Jadi, mana hubungan dilema antara kerja keras dan rasa malas?'

Tapi saya tahu orang tua saya adalah orang tua yang penyayang, dengan cara mereka sendiri. Dan saya juga menyayangi mereka dengan cara saya sendiri. Masalah sebenarnya adalah karena ketidakmauan untuk belajar dan mengajari, memberi contoh bagaimana harus menghadapi dunia. Dan mendukung dari belakang, tidak takut untuk mengaku jika salah dan mau memperbaiki diri.

Pendidik dan pengasuh yang sudah merasa benar dalam tindakannya untuk mendidik, yang lupa. Bahwa anak memiliki karakter masing - masing dan mungkin karakternya akan hancur karena cara yang salah dalam menyikapi masalah. Berhenti menyalahkan orang yang di didik!!, kenapa anda tidak mulai menyalahkan orang yang mendidik?

Saya tahu sekarang saya harus berubah menjadi lebih baik. Membuat Hukum sebab-akibat berdampak pada saya dengan mulai berubah menjadi yang lebih baik dan akan berakibat baik pada diri saya. Belajar terus menerus dan kelak dapat menjadi orang tua yang bisa membimbing dengan benar suatu saat nanti saat jiwa dan raga sudah siap seutuhnya.

No comments:

Post a Comment

Artikel Pilihan

Inspirasi Membuat Blog dari Nol tanpa Pengetahuan tentang Internet

Anda ingin punya blog yang terkenal? punya adsense banyak? ingin cuma tidur-tiduran di rumah dan dapat penghasilan yang banyak? Tidak s...